Logo Polda Papua Barat Format Vector / Coreldraw




Papua Barat resmi memiliki Polda Papua Barat dan Kapolda pertamanya yakni Brigjen Pol Paulus Waterpauw, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakapolda Papua sesuai dengan surat telegram bernomor 2525/XII/2014.
Untuk download Logo Polda Papua Barat Format Voctor / Corel Draw klik disini :



Polres Teluk Bintuni dan Pemda Gelar Sosialisasi Sadar Hukum dan HAM


Pada tanggal 18 April 2015 Polres Teluk Bintuni dan Pemda Kab. Teluk Bintuni melaksanakan Sosialisasi Sadar Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk masyarakat Kab. Teluk Bintuni yang bertempat di Aula Tunggal Panaluan Polres Teluk Bintuni.

Hadir dalam acara ini Bupati Teluk Bintuni yang diwakili oleh Asisten I Sekda Kab. Teluk Bintuni Izack Loukon, SH. MH, Kapolres Teluk Bintuni AKBP Hary Supriono, Humas SKK Migas Wilayah Papua dan Maluku Otniel L. Wafom, beberapa Kepala SKPD, Pejabat TNI/Polri , Tokoh-tokoh Masyarakat, Tokoh-tokoh Agama, Tokoh-tokoh Pemuda dan Tokoh-tokoh Adat di Kab. Teluk Bintuni.

Dalam sambutannya, Bupati Teluk Bintuni yang diwakili oleh Asisten I Izack Loukon, SH. MH berharap melalui pertemuan ini menjadi wadah kesadaran hukum dan dapat digunakan dalam menentukan hak dan kewajiban sesuai peraturan yang berlaku. Sementara itu Kapolres Teluk Bintuni AKBP Hary Supriyono mengharapkan kerjasama dan partisipasi setiap elemen masyarakat dalam menjaga dan menciptakan situasi yang aman dan kondusif dengan tujuan untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan perekonomian kearah yang lebih baik.

Kegiatan Sosialisasi ini terselenggara atas kerjasama dan dukungan yang diberikan pihak SKK Migas serta Managemen Genting Oil Kasuri Pte, Ltd yang turut mensponsori kegiatan ini sebagaimana yang tertuang dalam Mou antara SKK Migas dengan Polri tentang Pengamanan Objek Vital Nasional.

Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat mendukung dan menjadi corong kehidupan bermasyarakat yang terarah dalam mengimplementasikan aturan hukum nantinya. (IRF)




Apel Gelar Pasukan Ops Simpatik Mansinam - 2015

Sebagai penjabaran kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang kamseltibcar lantas dan program Nawacita Presiden RI maka Korlantas Polri telah merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan fungsi teknis lantas dalam bentuk Aksi keselamatan Lalu Lintas 2015 melalui Bulan Tertib Lalu Lintas secara Tematik. Untuk itu diselenggarakanlah Operasi terpusat dengan sandi Operasi Simpatik 2015.

Dalam rangka Operasi Simpatik 2015 tersebut, Polres Teluk Bintuni melaksanakan Apel Gelar Pasukan Operasi Simpatik Mansinam - 2015 pada tanggal 1 April 2015 yang bertempat di Mako Polres Teluk Bintuni.

Bertindak sebagai Inspektur apel, Wakapolres Teluk Bintuni Kompol R.S.L. Rahareng, sedangkan Komandan apel adalah Ipda M. Irdian, SH.

Hadir dalam acara tersebut Ketua DPRD Kab. Teluk Bintuni, Kepala Dinas Perhubungan Kab. Teluk Bintuni, Kepala Kantor Samsat Kab. Teluk Bintuni, para pimpinan TNI dan beberapa undangan dari instansi terkait.

Peserta apel Gelar Pasukan Ops Simpatik Mansinam 2015 sebanyak + 140 peserta yang terdiri dari : 1 SST Gabungan TNI, 1 SST Sat Lantas Polres Teluk Bintuni, 1 SST Dalmas Polres Teluk Bintuni, 1 SST Staf Gabungan Polres Teluk Bintuni dan 1 Regu dari DLLAJR Kab. Teluk Bintuni.

Sebagai Inspektur Apel, Wakapolres Teluk Bintuni memberi beberapa arahan yaitu Operasi Simpatik tahun ini berbeda dengan tahun tahun sebelumnya dikarenakan saat ini masih dijumpai bahwa anggota Polantas kurang memahami fleksibilitas posisi Polri dalam masyarakat pada waktu menjalankan tujasnya; anggota Polantas belum maksimal melakukan perubahan mendasat pada tugasnya secara santun dan humanis; anggota Polantas belum melakukan perubahan tata nilai, pola pikir dan pola tindak; anggota Polantas masih menganut paradigma lama yang kental dengan sosok pemegang otoritas kekuasaan budaya dilayani serta anggta Polantas masih melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dengan motivasi mendapatkan imbalan. Oleh sebab itu, menurut Wakapolres perlu pembenahan mindset dan culturset terhadap Polantas untuk menjawab tuntutan masyarakat dan menjadi pelopor dalam revolusi mental di ruang publik (sesuai dengan Nawacita Presiden RI).

Dokumentasi :













ADA POLISI BAIK SEBANYAK YANG ANDA LUPAKAN

Mungkin Anda seperti saya. Satu-dua kali rumah Anda pernah disatroni maling. Katakanlah dua kali. Selebihnya–sadar atau tidak–Anda bisa tidur nyenyak di malam hari, atau meninggalkan harta benda di rumah untuk pergi berlibur.

Mungkin Anda seperti saya. Satu-dua kali pernah kecopetan di angkutan umum. Katakanlah dua kali. Selebihnya–sadar atau tidak–Anda sudah ribuan kali menggunakan kendaraan umum. Kesana dan kemari, hingga sampai di kondisi Anda sekarang, tanpa pernah lagi kecopetan. 

Anda mungkin seperti saya. Satu-dua keluarga atau kerabat Anda pernah dibunuh penjahat. Katakanlah dua orang. Selebihnya, ratusan anggota keluarga dan ribuan kerabat Anda hari ini masih menjawab “kabar baiiik. Saya sehat Alhamdulillah….”, ketika Anda tanya kabar dan keadaan mereka. 

Anda mungkin seperti saya. Satu-dua kali pernah harus mengeluarkan uang ekstra ketika berurusan dengan polisi di jalan. Katakanlah dua kali. Selebihnya, jalan-jalan Anda menuju ribuan tujuan relatif teratur. Membuat Anda selamat dan bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang Anda sayangi di rumah.

Ada banyak lagi hal-hal menyangkut keamanan dalam hidup Anda dan keluarga, yang sekali-dua kali gagal diamankan dengan baik oleh polisi. 

Tapi pernahkah Anda berpikir bahwa diluar satu-dua kali kejadian yang menimpa Anda, ada ribuan kali dan hari Anda selamat?. Tentu saja polisi tak seperti malaikat yang mengapit kanan-kiri Anda 24 jam sehari. Namun karena citra keberadaan mereka di sekitar Andalah yang membuat penjahat berpikir tiga kali untuk tidak tiap hari mengganggu Anda.

Mungkin Anda aman bukan semata-mata karena ada polisi. Tapi Anda aman karena para penjahat tahu ada polisi yang bisa sewaktu-waktu menyergap, mengejar bahkan membunuh mereka, demi membela Anda dan keluarga.

Satu hal lagi yang mungkin Anda lupa. Bahwa tiap kali polisi menjaga dan membela Anda, itu artinya mereka meninggalkan keluarga mereka. 

Demi Anda. Budi Gunawan mungkin korup. Mungkin tidak. Djoko Susilo dan Susno Duadji telah mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Sementara Hoegeng telah selamat menunaikan tugas hingga akhir hayatnya, untuk kemudian dikenang sebagai polisi baik sepanjang masa.

Ada bad cop. Ada good cop. Sebutkan profesi Anda. Apapun. Maka pada profesi itu, Anda akan menemukan sekian banyak perilaku jahat yang dilakukan penyandang profesi tersebut. Artinya ada good you, ada bad you dalam profesi. Kecuali Anda tak jujur.

Maka berhentilah mengatakan bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia; Hoegeng, polisi tidur dan patung polisi, hanya karena Anda lupa atau tidak jujur, bahwa hingga hari ini Anda selamat karena citra keberadaan polisi. 
Be proportional. 

All is fair in love. 

All in love is fair.

SUMBER :
Ditulis oleh salah seorang akun kompasiana bernama Onggo pada tanggal 20 Januari 2015.
Tulisan asli : sosbud,kompasiana.com

TRANSFORMASI NILAI-NILAI PANCASILA BAGI PENYELENGGARA NEGARA DALAM RANGKA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI TANAH PAPUA

Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 terbesit sebuah cita-cita dimana tercapai sebuah kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia . Amandemen UUD NRI 1945 sebagai bagian dari reformasi, juga melahirkan era baru konstelasi politik ketatanegaraan, penguatan fungsi yudikatif seolah melampaui batas tujuannya yang mengakibatkan dinamika politik yang sedemikian tinggi, kondisi ini menyebabkan turunnya kualitas pelayanan publik dan kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat. Energi para penyelengara negara seolah habis untuk mengurus isu-isu politik yang berkepanjangan dan terkadang menyesatkan serta tidak kondusif untuk penyelenggaraan pembangunan nasional, pada akhirnya kondisi ini akan semakin melemahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan ideologi Bangsa yaitu Pancasila.

Pancasila lahir dari rumusan The Founding Fathers tentang paham kebangsaan yang dapat mengatasi keragaman Indonbesia sebagai negara yang majemuk. Masing-masing anak bangsa, memiliki ikatan primordialnya dan kepercayaanya masing-masing. Hanya dalam posisi sebagai sesama bangsa Indonesia dalam perasaan senasib sepenanggungan dalam satu ikatan sejarah maka akan mampu menampik loyalitas-loyalitas sempit berdasar ideologi partisan, agama, adat, suku, ras, daerah, dan seterusnya.

Seperti pernah diuraikan Soekarno, sebelum era Republik Indonesia, bangsa Indonesia hanya dua kali merasakan sebagai negara nasional atau negara-bangsa. Yaitu pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Di luar itu, entitas bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih bersifat lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku Bugis di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa, Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah: gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Baru ketika perjuangan bangsa yang bersifat nasional, meliputi seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi anugerah dengan kata lain kemajemukan bukanlah sebuah kelemahan namun merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai sebuah tujuan bersama.

Dengan paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “satu untuk semua dan semua untuk satu”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law) tanpa harus mengalami diskriminasi lantaran perbedaan latar belakang primordial atau ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau kedaerahan.

Sebagai negara yang mendasarkan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, maka segala aspek kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk Pemerintahan harus senantiasa berdasarkan nilai-nilai Pancasila tersebut. Perjalanan reformasi Indonesia yang memberi ruang kebebasan berdemokrasi justru membawa pergeseran kehidupan masyarakat dan berdampak pada menguatnya nilai-nilai kesukuan serta lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis keagamaan. Keadaan ini menjadi semakin masive dan berpotensi melemahnya nilai-nilai pedoman masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari akhlak para penyelenggara negara yang terus mengalami degradasi moral dalam melaksanakan tugas mempimpin bangsa.

Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali ke pangkuan Republik Indonesia setelah melalui perjalanan panjang perjuangan yang diakhiri melalui suatu proses Penentuan Pendapat Rakyat. Selepas Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang dijadikan dasar klaim atas wilayah Papua sebagai bagian integral dari Republik Indonesia, gejolak tidak pernah berhenti. Bahkan jauh sebelum Pepera gejolak untuk menolak menjadi bagian dari Republik Indonesia sudah berlangsung di Papua, terutama semenjak penandatanganan New York Agreement pada 15 Agustus 1962 yang berada di bawah tekanan Amerika Serikat. Sebagai landasan untuk proses transfer Papua Barat menjadi wilayah di bawah United Nation Temporary Executive Territory (UNTEA) dari 1 Mei 1962 sampai 1 Mei 1963, kemudian melakukan penyerahan secara administratif Papua kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia setuju untuk menyelenggarakan semacam referendum pada tahun 1969.

Dari perjalanan panjang tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan penting dimana Indonesia memproklamasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 namun pasca proklamasi, Papua masih terbelit dengan kolonialisme Belanda hingga puncaknya integrasi Papua melalui referendum tahun 1969 yang disebut Pepera. Sebuah fakta yang menyadarkan kita bahwa sebuah kewajaran masyarakat Papua terbelit dalam ketertinggalan, isolasi dan stigma negatif lainnya dibanding daerah lain di Indonesia yang telah memulai sebuah peradaban baru sejak 1945.

Rekam jejak pergolakan Papua menyisakan pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia terhadap proses internalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam jiwa ideologis masyarakat Papua. Di samping masalah-masalah ideologis juga terdapat akumulasi masalah kesejahteraan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sedemikian kompleks dan membelit masyarakat Papua. Fakta bahwa masyarakat Papua hidup di tengah keterbelakangan di atas kekayaan alam mereka sendiri telah menimbulkan tanda tanya besar atas komitmen dan kesungguhan Pemerintah dalam membangun Papua. Di tengah situasi inilah kelompok-kelompok perjuangan yang menginginkan Papua Merdeka dan terlepas dari NKRI mendapat simpati sebagian masyarakat yang merasa tertindas semasa Orde Baru melalui penerapan Gerakan Operasi Militer yang menyisakan trauma dan kepedihan.

Sejalan dengan situasi ini di era 1998, terjadi krisis moneter yang menimpa Indonesia, pergolakan masyarakat di bidang politik meninggi hal tersebut juga mempengaruhi situasi politik di Papua. Puncak dari arus perubahan yang disebut reformasi tersebut adalah diundangnya 100 perwakilan masyarakat Papua dibawah komando Thom Baenal ke Istana Presiden untuk berdialog dan menyampaikan aspirasi masyarakat Papua. Salah satu aspirasi yang membuat Presiden B.J Habibie kala itu tercengang adalah tuntutan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Aspirasi tersebut kemudian di akomodir hingga menjadi isu hangat di Papua. Dengan kondisi seperti itu maka salah satu jalan keluar yang dinilai bisa mengakomodasi semua pihak adalah dengan memberikan status wilayah Otonomi Khusus bagi Papua. Komitmen pemberian status Otonomi Khusus untuk Papua muncul pada GBHN yang disusun MPR periode 1999-2004, dimana pemberian status Otonomi Khusus tersebut secara khusus juga dikaitkan dengan tujuan-tujuan memperkuat integrasi nasional dalam bentuk negara kesatuan. Bahkan menurut studi Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti, tawaran untuk status daerah Otonomi Khusus sudah merupakan bagian dari retorika Pemerintah pusat semenjak tahun 1999, hanya saja persoalan dengan komitmen Pemerintah pusat tersebut adalah kurangnya substansi dan lemahnya kecerdasan dalam memberikan solusi penawaran status Otonomi Khusus.

Secara Ekslusive Otonomi Papua melahirkan 3 (tiga) pilar baru dalam kepemimpinan Pemerintahan sebagai wujud penyelenggaraan negara  di Papua yakni Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketiga pilar inilah yang semestinya menjadi motor penggerak perubahan Papua baru yang lebih sejahtera, aman dan damai. Pada kenyataanya para penyelenggara negara di Papua seolah belum sepenuhnya siap untuk mengisi era baru Otonomi Khusus Papua dengan konsep dan program-program pemberdayaan orang asli Papua, para penyelenggara negara seolah larut dalam hingar bingar kebebasan berpolitik.

Diberlakukannya Otonomi Khusus Papua membawa perubahan besar terkait tatanan dan penyelenggaran Pemerintahan daerah yang mengakomodir berbagai kekhususan daerah Papua yang diharapkan akan menjadi solusi yang menjawab akumulasi permasalahan pasca bergabungnya kembali ke pangkuan NKRI. Salah satu upaya untuk mengimplementasikan status Otonomi Khusus adalah pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Jika merujuk UU No. 21/2001, status Otonomi Khusus akan memberikan peran besar kepada Majelis Rakyat Papua (MRP), karena kalau merujuk pada Bab V UU No. 21/2001, disebutkan bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan bagian dari Pemerintahan daerah di Papua, yang atas dasar itu Pemerintahan di Papua didasarkan pada 3 (tiga) lembaga pilar utama yakni : legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), eksekutif (Gubernur dan jajaran Pemerintahan Daerah) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang menurut UU No. 21/2001, posisi ketiga lembaga tersebut adalah sama dan sederajat.

Perjalanan Papua di era Otonomi khusus membawa perubahan signifikan, pembangunan dilakukan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pembangunan sumber daya manusia, infrastruktur bahkan pembukaan keterlibatan masyarakat asli di bidang birokrat semakin terbuka lebar. 15 Tahun perjalanan Otsus masih merupakan sebuah proses diperlukan komitmen dan konsistensi keseriusan Pemerintah Dalam menjalankan mandat pembangunan yang tertuang di dalam Otsus tersebut.

Pada poin ini revitalisasi nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan para penyelenggara negara menjadi sangat vital dalam meluruskan kembali rel perjuangan yang sesungguhnya dari keinginan masyarakat Papua yakni percepatan pembangunan wilayah Papua. Para Penyelenggara negara di Papua dapat berada dalam koridornya apabila nilai-nilai Pancasila dapat dihayati dan dipedomani dalam menjalankan mandat yang diberikan Namun terbesit Permasalahan yang terjadi pada nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara saat ini dimana rendahnya kemampuan untuk mengendalikan diri khususnya penyelenggara negara sebagai pelaku utama dalam menyelenggarakan jalannya Pemerintahan berpotensi menghambat laju pembangunan yang ada.

Untuk itu revitalisasi nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara merupakan sebuah keniscayaan dan kebutuhan yang sangat mendesak dalam kehidupan bangsa guna percepatan pembangunan di wilayah Papua dalam rangka pembangunan nasional. Revitalisasi nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara adlh sebuah keharusan untuk merubah paradigma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah yang selaras dengan cita-cita perjuangan bangsa.Percepatan pembangunan di wilayah Papua ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, kemampuan, keamanan dan kesetaraan hidup seluruh masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi untuk menjaga keutuhan NKRI.

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Nilai - nilai  yang  terkandung  dalam  Pancasila  mengandung  5 (lima) pesan pokok yaitu penghayatan dan hakekat  identitas  bangsa, kesepakatan akan cita-cita nasional, kebulatan tekad untuk mencapai tujuan nasional, mempertahankan dan  memperjuangkan   kepentingan   nasional serta kesepakatan tentang pencapaian tujuan nasional. Dari seluruh kandungan tersebut sangat penting dan vital posisi penyelenggara negara untuk mewujudkan pembangunan nasional. Nilai-nilai fundamental Pancasila menjadi sumber good governance dimana dalam nilai dasar itulah ditemukan 5 (lima) sila yang secara utuh membangun sebuah  sistem yang saling mendukung, sebab Pancasila dikerangkai oleh komitmen moral yang yang merupakan syarat utama  dalam pencapaian good governance di alam kemerdekaan. Di dalam Pancasila terkandung tiga nilai yang sangat potensial untuk dijadikan landasan dalam mencapai sebuah cita-cita bersama diantaranya Nilai dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis. Ada 3 nilai pokok yang terdapat terkandung di dalamnya diantaranya:

1.       Nilai Dasar

Nilai Dasar adalah nilai-nilai yang berasal dari nilai budaya bangsa Indonesia yang bersifat abstrak dan umum, relatif tidak berubah namun maknanya selalu dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Artinya nilai dasar itu bisa terus menerus ditafsirkan ulang baik makna maupun implikasinya. Melalui penafsiran ulang itulah akan didapat nilai baru yang lebih operasional sesuai dengan tantangan zaman. Adapun nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan (musyawarah-mufakat), dan Keadilan.

a.            Nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
Sila pertama menyiratkan nilai religius, hubungan personal antara manusia dengan Tuhan, kepercayaan akan Ke-Tuhanan akan membawa prinsip dasar di dalam hati nurani masing-masing individu.
b.           Nilai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
Sila kedua mengandung unsur kemanusiaan, dalam konteks modern dapat dikemukakan sila ini merupakan sumber dari adanya HAM di Indonesia.
c.           Nilai Sila Persatuan Indonesia;
Nilai ini adalah kristalisasi dari kemajemukan yang ada di Indonesia, suatu nilai yang menyatukan seluruh kemajemukan dalam bingkai NKRI. Sila ini juga mencerminkan adanya Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Bangsa yang memiliki makna walau berbeda-beda tetapi tetap satu.
d.      Nilai Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;
Kedaulatan negara ditangan rakyatPemimpin kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi dengan akal sehat. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Musyawarah untuk menghasilkan kebulatan mufakat yang dicapai melalui perwakilan rakyat.
e.           Nilai Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia;
Wujud keadilan sosial dalam menentukan proses musyawarah.Keadilan dalam kehidupan sosial meliputi bidang Ipoleksosbudhankam.Cita-cita masyarakat adil dan makmur, materiil dan spiritual.Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan menghormati hak orang lain. Cita-cita akan kemajuan dan pembangunan.

2.       Nilai Instrumental Pancasila      
                                         
Nilai Instrumental merupakan nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan nilai-nilai dasar yang memiliki formulasi dan parameter yang jelas dan kongkret.  Nilai Instrumental terimplementasi dalam arahan kebijakan atau strategi atau merupakan eksplisitasi dari nilai dasar. Oleh karenanya dalam kehidupan masyarakat yang hidup pada berbagai lapisan sosial, dapat berperan serta dalam pelaksanaan  konsep strategi pembangunan dan prioritas sasaran yang tepat. Dalam tataran penyelenggaraan Pemerintahan daerah Papua maka bentuk-bentuk nilai instrumental dapat diwujudkan melalui strategi pembangunan dan prioritas sasaran yang tepat. Prioritas ini sudah dapat dipedomani sebagaimana telah ditetapkan melalui 11 (sebelas) prioritas sasaran antara lain :

a.           Tata Kelola Pemerintahan,
membangun capacity building aparat Pemda dan good governance dapat dijalankan di semua tingkatan Pemerintahan daerah.
b.           Politik,
membentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) sebagai jabaran dan instrumen UU Nomor 21 Tahun 2001 dapat diwujudkan dan seluruh kehendak yang telah ditetapkan UU Nomor 21 tahun 2001 diimplementasikan oleh seluruh stake holders, komunikasi konstruktif dengan semua elemen masyarakat dan dialog tentang Papua dapat dilaksanakan.
c.           Affirmative Action,
(kebijakan keberpihakan) pembentukan regulasi daerah yang memihak serta pendidikan dan pelatihan kepada Orang Asli Papua (OAP) yang menunjang affirmative action di seluruh sektor Pemerintahan dan swasta yang dapat dijalankan.
d.           Hukum dan HAM,
penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM dapat dilaksanakan, politisasi kasus-kasus kriminal tidak terjadi dan kasus-kasus Korupsi dapat didorong untuk ditangani menurut ketentuan perundangan penanggulangan korupsi secara benar.
e.           Infrastruktur Dasar,
membuka terisolasinya wilayah pegunungan tengah dan seluruh daerah terisolir, mendorong dan memastikan bahwa program pembangunan infrastruktur dasar dapat dilaksanakan dan dituntaskan.
f.            Kesehatan,
mewujudkan program Pos Kesehatan Pembantu di tiap kampung, Puskesmas di distrik dan Rumah Sakit rujukan di kabupaten dan provinsi dapat diwujudkan serta dapat berfungsi menjadi sentra pelayanan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat Papua.
g.           Pendidikan,
Program Pendidikan Usia Dini (PAUD) dan pendidikan dasar 9  tahun di tiap kampung, pendidikan menengah kejuruan/umum di distrik, program sekolah unggulan di Kabupaten/Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Sorong dapat diwujudkan serta menjadikan Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Papua (Unipa) menjadi center of excelence di Papua.
h.           Ekonomi,
program peningkatan kapasitas ekonomi usaha kecil “mama-mama”, penyediaan pasar tradisional di seluruh kabupaten/kota, pemihakan kepada pengusaha Orang Asli Papua (OAP) dapat berjalan.
i.             Pengawasan Lingkungan,
menjamin bahwa semua penambangan yang dilaksanakan di seluruh Papua dilaksanakan sesuai dengan seluruh peraturan perundangan yang berlaku.
j.            Sosial Budaya,
implementasi hak ulayat dan hukum adat dalam kehidupan bermasyarakat di Papua serta nuansa Papua dalam semua fasilitas publik dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat berkembang dan berjalan harmoni.
k.           Keamanan,
memastikan bahwa kekerasan tidak terjadi lagi di Papua, penegakan hukum dapat ditegakkan serta pengelolaan keamanan di Papua dijalankan sesuai dengan sistem perundangan baik yang terkait dengan Polri maupun TNI.

3.       Nilai  Praksis Pancasila

Nilai Praksis adalah nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari yang menandakan apakah nilai dasar atau instrumental masih hidup di tengah masyarakat, berbangsa dan bernegara. Contoh nilai praksis seperti saling menghormati, toleransi, kerja sama, kerukunan, bergotong royong, menghargai, dan sebagainya. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Untuk ini prinsip-prinsip dasar etika wawasan kebangsaan  merupakan tata nilai-nilai moral yang hasrus dihormati dan berlaku universal sebagai pedoman bersikap, berperilaku, bertindak dan berucap bagi sesuai perannya dalam menjalankan aktivitasnya sebagai Generasi muda harapan bangsa dengan prinsip-prinsip dasar etika antara lain :

a)         Prinsip dasar Kejujuran
b)         Prinsip dasar Keadilan
c)         Prinsip dasar Tepat Janji
d)         Prinsip dasar Taat Aturan
e)         Prinsip dasar Tanggung Jawab
f)          Prinsip dasar Kewajaran dan Kepatutan
g)         Prinsip dasar Kehati-hatian

Meskipun saat ini belum ada pedoman formal bagaimana menghayati nilai-nilai Pancasila itu, namun dengan adanya pengalaman di masa lalu hendaknya bisa dijadikan dasar untuk dilakukan secara mandiri sesuai tanggung jawab dan kompetensi yang melekat pada fungsi dan peranan masing-masing bagi penyelenggara negara. Setelah memahami dan menghayati secara benar, tahap berikutnya adalah dituntut untuk mau dan mampu mengamalkan dan meningkatkan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu secara murni dan konsekuen sesuai bidang tugasnya, baik di eksekutif maupun legislatif. Karena penyelenggara negara melakukan tugas-tugas pembangunan dengan segenap semangat, pola pikir, pola sikap dan pola tindak perbuatannya diarahkan dan dilaksanakan sebagai wujud pengamalan nilai-nilai Pancasila secara serasi, selaras dan seimbang dalam kesatuan yang utuh.

Selanjutnya dalam menjalankan fungsi Pemerintahan para penyelenggara negara hendaknya berpedoman pada prinsip-prinsip dasar etika yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar tersebut diharapkan dapat mempercepat Pembangunan Papua dalam bingkai Otonomi Khusus. Otonomi khusus dapat berjalan secara optimal apabila ditunjang dengan sumber daya penyelenggara negara yang telah memedomani Pancasila lewat Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk melaksanakan mandat yang telah diberikan.

Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dapat ditarik sebuah indikator bahwa pembangunan infrastruktur atau fisik akan terwujud dengan dilandasi pembangunan sumber daya manusia terlebih dahulu, pembangunan sumber daya manusia melalui revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila adalah sebuah solusi untuk mencapai tujuan bersama.

Jayapura,   Agustus 2014
Penulis

Drs. PAULUS WATERPAUW
BRIGADIR JENDERAL POLISI

Sumber :

BUKU PAULUS WATERPAUW MENGABDI DENGAN HATI

Buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari oleh manusia. Buku memuat ilmu, sejarah serta cerita yang dapat dihikmahi nilainya dan dijadikan bekal untuk keperluan tertentu. Setiap manusia yang hidup di dunia ini mengalami fase kehidupan mulai dari lahir hingga menginjak dewasa. Bersumber dari itu, saya mencoba menuliskan perjalanan hidup saya dengan maksud untuk memberikan inspirasi dan motifasi bagi generasi saya khususnnya sebagai anak Papua. Dewasa ini, saya melihat fenomena generasi muda yang sangat memperihatinkan khususnya di Papua berupa munculnya sifat-sifat pragmatisme yaitu sifat ingin mendapatkan sesuatu tanpa percaya dengan adanya proses. Melihat itu saya ingin mencoba mengajak generasi muda khususnya anak Papua untuk bangkit dan memaknai kehidupan ini lewat sebuah proses sebelum kita mencapai cita-cita kita. Bukan bermaksud membanggakan diri atau menyombongkan diri namun lebih pada sisi kemanusiaan yang tersentuh melihat fenomena yang terjadi akibat dari perkembangan globalisasi yang semakin hari semakin memberikan implikasi kepada tatanan hidu generasi muda.

Menyikapi hal itu saya mulai berpikir untuk memberikan gambaran akan proses panjang kehidupan saya yang saya maksudkan untuk memberikan inspirasi kepada generasi saya khususnya di Papua. Buah pikir tersebut coba saya tuangkan ke dalam buku Biografi yang ditulis oleh Sdr. Ensa Wiarna dan Sdr. Rudi Hartono yang diarahkan oleh Prof.Dr.H. Asep Kartiwa, Drs.,SH.,MS yang juga Guru Besar Administrasipublik Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjajaran Bandung . Biografi tersebut memuat perjalanan panjang saya Paulus Waterpauw dari seorang anak Papua yang mengarungi kehidupan dan mencapai sesuatu yang saya yakini berkat dari hasil kerja keras serta komitmen diri yang ingin berhasil dan menjadi seseorang, from hero to Zero. Selain itu saya juga menuangkan pemikiran-pemikiran saya tentang pentingnya membangun wawasan kebangsaan lewat karya tulis yang juga saya camtumkan sebagai referensi generasi muda untuk memaknai pentingnya Pancasila sebagai pedoman hidup dan menjiwai nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Muatan yang tertulis dalam Biografi yang menceritakan bagaimana saya terlahir di lingkungan keluarga yang sederhana dan mengarungi ruang dan waktu hingga meniti karier Kepolisian di Surabaya Hingga Jakarta dan melewati tantangan-tantangan kehidupan. Suka duka semuanya saya curahkan ke dalam Biografi, perjalanan penjang yang saya harapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan generasi saya berikutnya. Dan Puji Tuhan, atas kasih dan Karunianya, pada tanggal 31 Desember 2013 Buku tersebut telah di launching di Hotel Aston Jayapura, Semoga dapat bermanfaat.

Sumber :

Karikatur Untuk Kenang-kenangan Kabag Ops Polres Teluk Bintuni


Bingung mau kasih kenang-kenangan untuk Kabag Ops yang mau pindah, saya dan teman-teman sepakat membuat sebuah karikatur sebagai kenang-kenangan. Setelah browsing di internet, akhirnya dapat postingan di Kaskus orang yang dapat membuat Karikatur. Ya, walaupun awalnya kurang percaya tetapi saya beranikan diri saja. Saya pesan dan setelah menunggu selama 4 hari akhirnya jadi juga karikaturnya. Hasilnya bagus, benar-benar buatan tangan dan bukan editan foto. Mantap hasilnya, Kabag yang mau pindah senang dengan hasilnya. Terima kasih mas Orikarikatur.

Untuk teman-teman yang mau pesan karikatur, saya rekomendasikan orang ini, dijamin hasilnya memuaskan.
Id Kaskus : klik disini


Terima Kasih Mas Orikarikatur....!!!!


Serah Terima Jabatan Kabag Ops Polres Teluk Bintuni

Pada hari Jumat, tanggal 29 Agustus 2014 pukul 09.00 Wit telah dilaksanakan Acara Serah terima Jabatan Kabag Ops dari Kompol R. Herminto M.J, SH.MH kepada Kompol M. Batmomolin SH. Acara berlangsung sangat khidmat dengan diikuti sekitar 50 personil polres Teluk Bintuni. Acara dipimpin oleh Kapolres Teluk Bintuni AKBP Reeza Herasbudi, SIK.MM. Selesainya acara dilanjutkan dengan pemberian ucapan selamat jalan kepada Kabag Ops lama dan ucapan selamat datang untuk Kabag Ops baru yang berlangsung dengan penuh haru.

Selamat Jalan Pak Herminto, terima kasih atas semuanya dan semoga sukses di tempat yang baru sebagai Kapolsek Kota Manokwari. Untuk Pak Batmomolin, selamat datang dan selamat menjalankan tugas sebaga Kabag ops polres Teluk Bintuni.

























Hari Lahir Polri Bukan 1 Juli 1946


Banyak ulasan pakar sejarah yang mengangkat sejarah berdirinya Polri. Salah satunya menyatakan bahwa hari bhayangkara pada 1 Juli 1946 bukan merupakan “hari lahir” Polri karena Polri sudah ada sebelumnya. Lebih unik lagi, Surabaya punya “Sejarah khusus tentang Kepolisian”. Di kota pahlawan ini  Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi”. Dalam ejaan lama, dalam Proklamasi Polisi di tulis:

“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I


Sejarah mencatat bahwa menjelang pendaratan armada kapal perang Sekutu di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945, situasi di kota Surabaya semakin mencekam. Kemarahan rakyat terhadap Indo-Belanda yang membonceng rombongan Palang Merah Internasional (intercross) makin menjadi-jadi. Selain pemuda yang bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), Polisi juga mempunyai peran yang cukup menentukan menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Ketika menjadi insiden bendera, 19 september 1945, Polisi bergerak cepat mereka menyatu dengan massa. 

Di Surabaya, selain Polisi Umum, ada Pasukan PI (Polisi Istimewa) yang sangat disegani. PI adalah jelmaan  dari CSP (Central Special Police). Apalagi, pada Agustus 1945 itu, hanya Polisi yang masih memegang senjata. Karena, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkansenjata mereka dilucuti. Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, meyatakan :

“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
- Bung Tomo

Polisi mempunyai peran yang istimewa dalam masyarakat,kondisi ini dimanfaatkan untuk melakukan pemantapan. Dalam buku Sejarah Kepolisian di Indonesia, disebutkan: “Di Surabaya, Komandan Polisi Istimewa Jawa Timur, Inspektur Polisi Kelas I (Iptu) Moehammad Jasin, memproklamasikan kedudukan Kepolisian pada 21 Agustus 1945.”

Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, rakyat dapat melihat bahwa Polisi bukanlah alat penjajah. Jadi, di Surabaya, Kepolisian Republik Indonesia lahir mendahului keberadaan Polisi di Indonesia yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, 1 Juli 1946.

Asvi Warman Adam, ahli penelitian utama LIPI, di Radar Jogja (1 Juli 2009), pernah menyampaikan bahwa:

“1 Juli sering dianggap sebagai hari lahir Kepolisian. Padahal instansi itu sudah ada sejak Proklamasi Kemerdekaan, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Di Indonesia, tentara, terutama Angkatan Darat (AD), memiliki kesadaran sangat tinggi tentang pentingnya sejarah. ……….. “

Lebih lanjut dia menjelaskan di kalangan Polisi malah kurang akan kesadaran sejarahnya sendiri. Padahal menurut Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Oleh karena itulah makanya sejarah Kepolisian ini masih banyak yang belum tahu bahkan oleh Anggota Kepolisian sendiri.

Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010